AHLAN WAZAHLAN

SELAMAT DATANG. Anda bisa nongol di blog ini, semoga saja kita dapat melakukan segala hal yang menyangkut persoalan yang universal dalam kehidupan sehari-hari yang riil.

Selasa, 29 Desember 2009

PENDIDIKAN KITA GELISAH

Selasa, 24-11-09 | 21:19 | 550 View
Kegelisahan Pendidikan: Catatan Atas Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional 75/2009
Oleh: Ismail Suardi Wekke (Peneliti pada LPPM Universitas Fajar)


Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dengan Nomor 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional (UN), mengatur pelaksanaan UN yang biasanya berlangsung pada April menjadi minggu ketiga Maret 2009. Apa dampaknya bagi dunia pendidikan kita?

UN telah mengubah wajah pendidikan kita. Ada keinginan yang kuat bagi setiap peserta didik untuk lulus dalam UN. Akan tetapi di sisi lain, ujian bukan lagi dijadikan sebagai proses pendidikan tetapi berbalik arah menjadi tujuan.

Bahkan di beberapa tempat ditemukan adanya kecurangan-kecurangan dalam rangka mencapai tujuan lulus. Ini tentunya mengabaikan dasar utama ujian sebagai alat yang dijadikan dalam pengambilan keputusan. Padahal seharusnya, ujian menggambarkan keandalan dan kesahihan data peserta didik. Selanjutnya dengan data tersebut maka dapat diambil keputusan untuk proses pendidikan ke jenjang berikutnya.

Jika hasil ujian merupakan rekayasa, maka tentunya mata rantai pendidikan akan berjalan bukan pada arah yang tepat. Wajar jika pendidikan kita semakin terpuruk. Lulusan satuan pendidikan tidak dapat menjadi tenaga kerja produktif karena keterampilan yang diharapkan dikuasai di bangku sekolah tidak diperoleh.

Sebaliknya menjadi pengangguran, secara otomatis akan menjadi beban bangsa. Lulusan yang dikeluarkan oleh sekolah sekadar memenuhi syarat formal UN, sementara keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) tidak diperhatikan.

Betapa banyak sarjana pertanian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi, tetapi keterpurukan sistem pertanian nasional masih menjadi problema sampai saat ini. Termasuk juga alumni fakultas kelautan setiap wisuda juga ditasbihkan sebagai lulusan perguruan tinggi, tetapi pengelolaan laut kita masih terabaikan.

Keterkaitan dan kesepadanan seharusnya mempertimbangkan tiga hal, yaitu (1) tempat, pendidikan harus memberikan kompetensi kepada setiap lulusan untuk mengenali tempatnya masing-masing. Tidak hanya dalam skala global tetapi nasional dan lokal; (2) waktu, tantangan-tantangan yang dihadapi peserta didik, tidak hanya untuk masa sekarang tetapi juga masa yang akan datang.

Pendidikan harus mempersiapkan peserta didik untuk hidup hari ini dan esok; dan (3) ranah pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan. Namun jangan sampai karena mengejar penguasaan iptek lalu kemudian identitas dan tradisi lalu ditinggalkan. Contoh terbaik di Asia, dapat kita saksikan melalui Korea dan Jepang.

Kemajuan dua bangsa itu dapat bersaing dengan bangsa maju lainnya. Secara bersamaan tradisi dikekalkan dan inovasi diterapkan. Ini menunjukkan bahwa dengan menguasai iptek dan ikut dalam percaturan global, bukan berarti kemudian peserta didik harus terasing alam lingkungannya serta mengikuti tradisi budaya negara darimana iptek itu berasal.

Ketiga pertimbangan tersebut harus berjalan secara bersamaan. Sebagaimana praktik yang sering diwujudkan berbagai kalangan di negara kita, proses penanganan setiap sektor berbeda-beda sehingga bukan lagi sesuatu yang aneh jika ada ketimpangan dan ketidaksepaduan pembangunan.

Jika pendidikan kita dikelola dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip keterkaitan dan
kesepadanan, maka secara terus menerus kita hanya mampu melatih tenaga kerja yang tidak memiliki kompetensi secara khas. Akibatnya, tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri, tetap akan menjadi pekerja kasar. Buruh migran yang merantau ke luar negeri tetap akan dieksploitasi dan menjadi pemikul beban dari kebijakan yang tidak memperhatikan keselamatan mereka.

Berkaitan dengan wacana yang dilontarkan Menteri Pendidikan berkaitan dengan penghapusan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguran Tinggi Negeri) dan menjadikan Ujian Nasional (UN) sebagai tiket untuk memasuki perguruan tinggi, sangat kontraproduktif. UN dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi pendidikan di tingkat sekolah menengah. Sementara SNMPTN merupakan alat seleksi untuk memasuki jurusan tertentu.

Menggabungkan dua hal yang mempunyai tujuan berbeda bukan langkah tepat. Jika kemudian menganggap ada masalah berkaitan dengan UN dan SNMPTN, maka tentunya bukan langkah penghapusan yang harus dilakukan, tetapi perlu perbaikan secara menyeluruh. Sebelum sampai kepada perbaikan implementasi UN dan SNMPTN, maka yang paling penting diperbaiki adalah paradigma tentang tes dan menjadikan kejujuran sebagai nilai dasar pendidikan.

Pertama, paradigma tentang tes. Tes seleksi dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan peserta untuk memasuki jurusan tertentu. Jika seorang peserta didik memaksakan diri untuk memasuki jurusan tertentu tanpa kemampauan dasar yang dimiliki, maka akan menjadi bumerang. Oleh karena itu, dengan adanya SNMPTN memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menguji kemampuannya dalam rangka memenuhi kualifikasi kepada jurusan yang diminatinya.

Kedua, kejujuran sebagai nilai dasar. Sebagus apapun tes yang dijalankan, jika kemudian perilaku curang masih mewabah, maka akan sia-sia. Ada kecenderungan, pelaksanaan UN menjadikan perilaku curang dilaksanakan secara berjamaah. Naskah ujian dibuka sebelum pelaksanaan ujian dan dijawab secara bersama oleh regu guru. Setelah itu, kunci jawaban diedarkan ke para peserta ujian, dengan dalih malu untuk mendapatkan predikat sekolah dengan tingkat kelulusan yang rendah.

Akibatnya, bibit-bibit ketidakjujuran telah disemai sejak awal di bangku pendidikan. Maka, jangan pernah berharap korupsi dan penyelewengan akan semakin menurun di masa datang. Pada saat yang sama, pelaksanaan ujian masuk ke perguruan tinggi sangat beragam. Dengan adanya berbagai macam tes ke perguruan tinggi jika dilaksanakan dengan tujuan untuk menyaring sebanyak-banyak potensi peserta didik yang akan diterima di bangku kuliah merupakan tujuan yang sangat ideal.

Sayangnya dengan berbagai macam seleksi seperti JNS (jalur Non Subsidi), UMB (Ujian Masuk Bersama), RESO (Reguler Sore), PMJK (Penerimaan Mahasiswa Jalur Khusus), PMB (Penelurusan Minat dan Bakat) serta berbagai istilah lainnya, berdampak kepada pembayaran SPP.

Besaran untuk sumbangan pendidikan yang disetorkan peserta didik bukan melalui penilaian prestasi dan kemampuan eknonomi tetapi melalui jenis tes apa yang memberikan tes untuk duduk di bangku kuliah. Praktik seperti ini, tentunya mencederai fungsi tes itu sendiri.

Semestinya sebagai alat pengukuran untuk melihat kemampuan peserta didik, maka tes yang ditempuh sebagai alat seleksi untuk memasuki perguruan tinggi, tidak mengandung konsekuensi pembedaan pembayaran. Sebagai tes, maka lumrahnya pembedaan yang muncul adalah distribusi peserta didik ke berbagai jurusan yang ada di perguruan tinggi.

Terakhir, pendidikan nasional semestinya menguatkan peserta didik kepada akar identitas kebangsaan. Pendidikan kita tidak boleh mencetak anak muda yang gandrung kepada kebudayaan lain tetapi adanya keinginan untuk mempertahankan identitas sekaligus mengadopsi budaya positif bangsa lain. Tetapi harapan itu tinggallah mimpi belaka.

Anak muda hari ini lebih mengenal komik Jepang, busana Korea, musik Eropa dan film Amerika. Tidak tersisa lagi ruang bagi adanya kesadaran akan keIndonesiaan. Kalau kemudian isu-isu seperti ini tidak lagi menjadi perhatian pemangku kebijakan, maka peserta didik akan kehilangan identitas. Kalau itu yang terjadi lalu untuk apa pendidikan nasional kita dibangun? (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar